Kain tapis
Kain Tapis merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat Lampung
dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun
Sang Pencipta Alam Semesta. Oleh sebab itu, munculnya kain tapis ini
ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan
teknik tenun, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan
perkembangan kebudayaan masyarakat.
Masyarakat Lampung
asli memiliki struktur adat yang tersendiri. Bentuk masyarakat hukum
adat tersebut berbeda antara kelompok masyarakat satu dengan yang
lainnya. Secara umum dapat dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu
masyarakat adat
Saibatin dan masyarakat adat
Pepadun
Suku bangsa Lampung yang beradat Saibatin (Pesisir) terdiri dari :
- Kepaksian Sekala Brak
- Keratuan Melinting
- Keratuan Balau
- Keratuan Darah Putih
- Keratuan Semaka
- Keratuan Komering
- Cikoneng Pak Pekon
Suku bangsa Lampung yang beradat Pepadun (Pedalaman) dapat digolongkan menjadi :
- Abung Siwo Mego (Abung Sembilan Marga)
- Mego Pak Tulang Bawang (Tulang Bawang Empat Marga)
- Pubian Telu Suku (Pubian Tiga Suku)
- Buay Lima Way Kanan (Way Kanan Lima Kebuayan)
- Sungkay Bunga Mayang
Berdasarkan pembagian penduduk yang serba mendua ini maka Lampung
dikenal sebagai Propinsi Sang Bumi Ruwa Jurai yang dapat diartikan "Bumi
Yang Dua Dalam Kesatuan."
Di daerah
Lampung
dikenal berbagai peralatan dan perlengkapan adat yang melambangkan
status seseorang yang ditandai dengan pemilikan sebuah kain adat yaitu
Kain Tapis Lampung.
Kain tapis merupakan salah satu jenis kerajinan
tradisional masyarakat Lampung
dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun
Sang Pencipta Alam Semesta. Karena itu munculnya kain Tapis ini ditempuh
melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik
tenunnya, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan
perkembangan
kebudayaan masyarakat.
Menurut
Van der Hoop disebutkan bahwa orang
Lampung telah menenun
kain brokat yang disebut
nampan (tampan) dan kain pelepai sejak abad ke-2 Sebelum Masehi. Motif kain ini ialah kait dan kunci (
key and rhomboid shape),
pohon hayat, dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah
meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta
bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat, disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh.
Hiasan-hiasan yang terdapat pada
kain tenun
Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah
lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh taradisi Neolitikum
yang memang banyak ditemukan di
Indonesia.
Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata juga memperkaya
perkembangan kerajinan tapis. Walaupun unsur baru tersebut telah
berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan.
Adanya komunikasi dan lalu lintas antar
kepulauan Indonesia
sangat memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim.
Dunia kemaritiman atau disebut dengan zaman bahari sudah mulai
berkembang sejak zaman
kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan pada masa pertumbuhan dan perkembangan
kerajaan-kerajaan islam antara tahun
1500 -
1700 .
Sejarah tapis juga didapat dari Muhammad Ridho Pratama Putra (Dido
Zulkarnaein). Muhammad Ridho Pratama Putra, berpendapat bahwa:
Sejarah
Tapis Sejak Masa Pra-Sejarah
Sejarah mencatat bahwa masyarakat
Lampung telah mengenal tenun
Pelepai dan
Nampan sejak abad ke-2 SM. (menurut
Van der Hoop = sejarawan asal Belanda).
Sejarah juga mencatat bahwa
Tapis Lampung telah disebutkan dalam
prasasti Raja Balitung (Abad ke-9 M.) sebagai barang yang dihadiahkan. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa
Tapis
sejak jaman dahulu merupakan barang mahal, karena pada dasarnya barang
yang dihadiahkan adalah barang yg memiliki nilai-nilai tertentu.
Bersamaan pada abad tersebut kain
songket telah berkembang di lingkungan
Kerajaan Sriwijaya, dimana kain
songket telah ada sejak jaman
Kerajaan Malayu (Abad ke-5 M).
Penggunaan benang emas dalam
budaya tenun
Indonesia merupakan hasil kontak dagang dengan bangsa
China sebagai penemu benang emas sejak
Masa Sebelum Masehi.
Sejarah mencatat pula, bahwa Bangsa
Lampung telah melakukan kontak dagang dengan
Bangsa China sejak Abad ke-5 M, ketika
Kerajaan P'o-Huang (dapat dieja "Bawang" yang berarti
Rawa dalam
Bahasa Lampung) mengirimkan utusannya ke
Negeri China pada Tahun
449 M. dengan membawa
Upeti dan 41 jenis barang dari
P'o-Huang yang diperdagangkan ke
China (kitab
Liu Sung Shu,
420-479 M.). Bahkan berdasarkan temuan
keramik China masa
Dinasti Han (203-220 M), mengindikasikan bahwa perdagangan antara Bangsa
Lampung Kuno dengan
China telah berlangsung sejak awal Abad Ke-3 M.
Penggunaan benang emas dan kapas dalam
tradisi tenun
Lampung merupakan kelanjutan dari
teradisi menenun sejak
jaman Perunggu atau
Perundagian (antara 3000 - 1500 SM). Ini dapat dilihat dari ragam motif pada kain-kain
tapis kuno,
kain inuh dan
kain bidak yang bergaya
Neolitikum, seperti:
pucuk rebung, meander, manusia, pohon hayat, sulur, binatang dll. Yang juga terdapat pada
nekara dan
bejana perunggu, serta pecahan-pecahan gerabah
Neolitikum.
Sebelum mengenal kapas dari
bangsa China dan
India,
masyarakat Lampung seperti juga
masyarakat purba lainnya di
dunia telah memanfaatkan kulit kayu (kulit kayu halim dan
tangkil), serat
pisang, serat
pandan, dll. untuk dipintal menjadi benang sebagai
bahan dasar kain tenun.
Untuk masyarakat
Lampung, penggunaan benang emas, benang perak dan kaca merupakan kelanjutan dari
tradisi prasejarah, dimana pada masa itu masyarakat
Lampung purba
menghiasi kain tenun mereka dengan menempelkan atau menyulam
benda-benda yang dianggap berharga atau memilki kekuatan magis seperti
manik-manik, kulit kerang, kepingan logam (
perunggu), maupun sulaman benang / serat-serat berwarna terang, hal ini mungkin berkaitan dengan
status sosial masyarakat pada masa itu, dimana semakin semarak ragam hias pakaian atau kain tenun tersebut, maka semakin tinggi pula
status sosialnya. Sisa-sisa
tradisi ini masih dapat kita temui dalam kain
tapis kuno,
kain inuh,
kain bidak, maupun pada
tradisi manik-manik
Lampung seperti pada lakkai (wadah seserahan, terbuat dari
anyaman bambu atau rotan) dan
peleppai manik-manik maupun pada benda-benda
peniggalan budaya lainnya.
Setelah kontak dagang dengan
Bangsa China dan
India terjadi, maka mulailah mereka mengenal penggunaan kapas dan menghiasinya dengan barang-barang
impor seperti benang emas, benang perak, benang
sutera
alam, dan kaca. Dan banyak mengalami perkembangan motif seiring dengan
perubahan jaman sampai masuknya pengaruh Islam yang sangat besar, dan
semakin menambah kekayaan ragam hias dan jenis dari kain
tapis Lampung itu sendiri.
Namun kini, dari dua ratusan motif dan jenis kain
tapis
yang dahulu pernah ada, saat ini tidak lebih dari tiga puluh motif dan
jenis saja yang masih dikenal dan diproduksi, bahkan diantaranya kini
terancam hilang dan nyaris punah. Hal ini dikarenakan rumitnya
pengerjaan dan lamanya waktu proses pembuatan yang dibutuhkan untuk
memproduksi satu jenis kain. Mengingat jenis kain ini tidak bisa
diproduksi dengan mesin.
Selain dari kurangnya kepedulian masyarakat pada keberadaan
tapis-tapis kuno, juga akibat dari perburuan besar-besaran terhadap
kain-kain langka tersebut oleh orang-orang asing.
Catatan: 1. Umumnya kerajaan-kerajaan yang dicatat oleh bangsa
China dalam kitab sejarahnya adalah kerajaan-kerajaan besar.
2. Kain peleppai disebut juga kain kapal karena motif utamanya berupa kapal arwah, yang berisikan arwah leluhur (kepercayaan
jaman batu), namun baru pada jaman
Islam kapal itu dianggap kapal atau bahtera
Nabi Nuh, karena dalam
Islam tidak mengenal istilah kapal arwah.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kain_tapis